Jumat, 31 Desember 2010

Sudahkan Kita Berkorban Untuk Agama........?






Ketika team PSSI berlaga di berbagai event, sungguh luar biasa  animo ma-syarakat dan supporter menyambutnya. Begitu pula ketika kemarin tanggal 26 dan 29 Desember 2010, ketika PSSI mesti bertan-ding melawan Malaysia dalam putaran final piala AFF.  Pada leg 1 pertandingan di gelar di Malaysia, dengan kuota supporter dari Indonesia kurang lebih 15 ribu kursi, ternyata hampir tak satupun kursi yang kosong. Ini berarti 15 ribu kursi dipenuhi penonton asal Indone-sia, walaupun sebagian diantaranya ada-lah para TKI yang memang telah lama mukim di Malaysia. Andaikan saja kita coba lakukan hitung-hitungan, berapa rupiah yang mesti dikeluarkan oleh masing-masing penon-ton untuk mengikuti acara  ini ? Untuk tiket masuk saja, rata-rata senilai Rp.600.000, ongkos pesawat pulang-pergi kurang lebih 5 jutaan. Dan sudah barang tentu dengan bepergian jauh seperti itu akan banyak biaya-biaya lainnya, seperti makan-minum, hotel, dan pendukung lainnya. Yah…….. mungkin paling tidak harus tersedia 9 – 10 jutaan per orang untuk acara yang berlangsung hanya 90 menit itu. Mereka tidak merasa keberatan utuk mengeluarkan biaya sebesar itu, dan mungkin bisa jadi akan sangat puas bila team kesayangannya menang. Inilah barang kali wujud pengor-banan terhadap rasa cinta, entah cinta tanah air, klub sepak bola, atau cintanya terhadap hiburan dan keramaian.
Selain itu pula, di dalam  lapangan mere-ka mengenakan berbagai atribut kebanggaan, ada kain semacam slayer, topi, bendera, terompet, dan tak lupa kaos tentunya. Semua seolah-olah menjadi sebuah kewajiban yang harus mereka adakan dan kenakan. Bahkan ada lagi yang dengan suka rela bahkan bangga tubuhnya dilumuri cat kebesaran team……sungguh luar biasa pengorbanan mereka. Perwujudan cinta memang tiada batasnya, sabagaimana dikatakan Ibnu Qayyim Al Jausiyah: “Cinta (itu) tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9).
Sekelumit cerita seputar sepak bola itu ternyata bisa menjadi sebuah cermin bagi diri kita sebagai manusia yang juga punya rasa cinta. Bagaimana tidak, kepada istri dan anak kita tentu kita punya rasa yang tidak terukur kadarnya, terhadap harta benda kita, juga ada rasa cinta yang tinggi. Sawah, ladang juga kendaraan kita sangat mencintainya. Untuk itu semua demi mewujudkan rasa cinta tersebut,  kita  berjuang  keras banting tulang peras keringat, putar otak, tenaga, dan tentu lagi-lagi harus keluar biaya. Hampir tidak mungkin terjadi di dalam diri seorang manusia yang mencintai sesuatu tetapi tidak ada wujud pengorbanan untuknya. Fitroh yang telah Allah tetapkan bagi makhluknya yang memiliki akal dan hati/khalbu. Allah berfirman dalam surat An Nisa’:14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).
Dari uraian diatas lalu muncul perta-nyaan, pernahkah atau sudahkah kita berkorban untuk Islam, sebagai sebuah keyakinan hakiki, yang kita imani yang menjamin keselamatan kita hidup di dunia dan hidup di akherat…? Pernahkan kita berkorban dengan memberi apa yang kita suka. Memberi apa yang kita sayang. Memberi apa yang kita miliki. Memberi sesuatu yang kita simpan dan jaga, demi kepentingan Islam sebagai agama kita. Baiklah, mungkin dengan bahasa sederhana saja. Pernahkah kita mengeluarkan uang kita dalam jumlah yang relatif tidak sedikit untuk kepentingan agama kita? Ketika shalat jumat misalnya. Ada sebuah kotak yang telah terpampang di depan kita, apa yang akan kita lakukan. Berapakah uang yang akan kita masukkan ke dalam kotak itu? Seratus ribukah? Lima puluh ribu, dua puluh ribu atau malah hanya seribu?
Ada banyak hal yang terlewat. Hidup kita yang masih muda sering kali merasa tidak perlu berkorban untuk agama kita. Malahan, kita lebih sering berkorban untuk hal hal di luar agama. Misalnya berkorban untuk persahabatan, untuk geng, untuk teman, untuk pacar dan bahkan untuk sesuatu yang sangat konyol sekalipun. Semuanya terasa sangat ringan. Tetapi menjadi begitu berat bila pengorbanan itu untuk Islam.
Kita masih ingat betapa hebatnya Nabi kita Ibrahim yang mau berkurban untuk Allah dengan menyembelih anaknya sendiri. Sebagai seorang ayah yang sangat merindukan anaknya, dia rela menyerahkan anaknya kepada Allah. Sungguh ini merupakan pengorbanan yang besar.  “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. ……..” (QS an-Nahl: 120)
Nabi Ibrahim a.s telah menunjukkan sebuah teladan yang luar biasa kepada kita semua. Semangat pengorbanan beliau sama besarnya dengan semangat kecintaan beliau kepada Islam. Inilah yang hari ini belum kita miliki. Kecintaan dan semangat pengorbanan kita masih sangat mungil.
Tentu saja pengorbanan ini bukanlah tanpa latihan. Ibrahim A.S sudah diuji oleh Allah dengan berbagai ujian ketakwaan. Dan Ibrahim dengan sukses telah melalui ujian-ujian itu. Ingatkah bagaimana Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya sendirian di padang pasir? Semuanya itu adalah ujian untuk mengukur seberapa besar kemauan kita berkorban untuk Islam.

Saatnya Latihan Berkorban
Dahulu ada seorang sahabat bernama Abdullah Ibnu Umar. Di usianya yang menginjak 13 tahun, sudah ingin ikut berjihad bersama Rasulullah saw. Beliau bersama sahabatnya yang bernama al-Barra’ ngotot ingin berperang bersama pasukan Rasulullah saw. dalam perang Badar. Namun oleh Rasulullah saw. ditolak karena masih kecil. Tahun berikutnya pada perang Uhud, beliau tetap ditolak. Hanya al-Barra’ yang boleh ikut. Barulah keinginannya yang tak tertahankan itu terpenuhi pada saat perang Ahzab, Rasulullah saw. Memasu-kkannya ke dalam pasukan kaum muslimin yang akan memerangi kaum musyrikin. Subhanallah!
Kita butuh latihan untuk menjadi seorang Abdullah bin Umar. Pertama yang perlu kita lakukan adalah berlatih untuk mengen-dalikan nafsu. Nafsu inilah yang selalu membuat kita egois. Berpikir kepentingan sendiri. Selama kita egois, maka kita akan susah untuk berkorban. Hawa nafsu hampir selalu sukses menggoda manusia yang lemah iman. Menyeret mereka ke dalam ruang maksiat karena tidak mendapatkan petunjuk dari Allah Swt. Benarlah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun…..” (QS al-Qashash [28]: 50)
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jaatsiyah [45]: 23)
Hawa nafsu, adalah sesuatuhal yang perlu dikelola dengan benar. Memang, kita harus menyadari juga bahwa hawa nafsu tidak bisa dimatikan. Hawa nafsu hanya bisa diredam atau dikendalikan. Tentu saja, diredam atau dikendalikan dengan ajaran Islam. Bukan yang lain. Karena hanya Allah Swt. yang tahu betul karakter manusia. Itu sebabnya, permintaan Allah Swt. kepada manusia agar manusia taat kepadaNya, justru untuk keselamatan manusia itu sendiri. Untuk bisa meredam nafsu, tentu saja diperlukan pengorbanan untuk meninggalkan hal-hal yang menurut hawa nafsu sangat enak dan nikmat jika dilakukan. 
Kedua, Mencoba berkorban dari hal-hal yang kecil. Segala sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil. Cobalah untuk berkorban sedikit demi sedikit. Berkorban pemikiran, tenaga, waktu dan kesempatan untuk Islam. Kemudian meningkat dengan berkorban harta. Karena diri kita ini perlu untuk dididik. Terlibatlah dalam urusan kaum muslimin. Ringankanlah beban mereka.
Urusan yang mesti dilakukan dalam agama kita jauh lebih banyak dibandingkan dengan urusan apapun di dunia ini. Termasuk urusan negara sekalipun. Karena terbukti bahwa urusan internal agama Islam takkan bisa tersentuh atau terwarnai oleh kebijakan negara manapun, dan dan sebaliknya, urusan kenegaraan bisa jadi harus di intervensi oleh aturan agama. Kalau urusan perikahidupan sebuah Negara meliputi IPOLEKSOSBUDHANKAM, maka agama Islam-pun begitu. Islam memiliki urusan dengan Ideologi, Politik, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan, dan bahkan lebih dari itu.
Dapat dikatakan, tidak ada sisi kehidupan sedikitpun yang tidak ada aturan dalam Islam, sehingga disana banyak terdapat lowongan pekerjaan (kesempatan) bagi setiap umatnya untuk berkiprah. Sebagai tatanan dunia yang telah Allah tetapkan, bahwa Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, tentunya menyadarkan kita sebagai kaum yang mengimaninya untuk bisa menjadi pemain di dalamnya, sekecil apapun peran tiap umat sangat dibutuhkan. Bagai sebuah panggung sandiwara kita benar-benar diuji, apakah kita akan menjadi pemain, atau menjadi penonton saja, yang hanya bisa komentar dan mengikutinya sampai sandiwara berakhir (kita meninggal dunia), atau bahkah kita sesekali mencibirnya.
Allah telah menyediakan gaji yang tiada terukur dan berlipat bagi usaha-usaha tiap umatnya dalam kiprahnya memakmurkan dunia ini. Sebagaimana Allah tegaskan “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah: 111)
Tidakkah kita tertarik dengan promosi yang telah Allah umumkan bahwa “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. al Baqoroh:261) disam-bung dengan strata/pangkat yang telah Allah tetapkan yaitu “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang/berkiprah) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad (berkiprah) di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk (penonton) dengan pahala yang besar.” (An-Nisa 4:95)
Marilah kita ringan hati dan ringan tangan untuk melakukan sesuatu dimana kita akan sangat bermanfaat di bidang itu. Jangan sungkan, jangan ragu atau malu. Inilah saatnya, Islam menunggu kiprah besar dari kita semua. Jangan sampai kita termasuk mereka yang memiliki cinta palsu, sehingga dalam berperan untuk agamapun setengah-setengah atau berperan bila dia suka atau dapat imbalan, dan akan diam bila tidak menguntungkan, sebagaimana disindir Allah dalam surat : Al Hajj :11 "Dan di antara manusia ada yang beragama di tepi agamanya (di pinggir-pinggir saja), jika ia memperoleh kebahagiaan/kebaikan maka ia pun tetap dalam keberagamaannya, tetapi jika ia ditimpa suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Dan yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata".
Atas dasar iman yang ada dalam dada kita - dengan melatih diri berperan aktif dalam urusan agama (sebesar apapun), semoga bisa menghantarkan kita menjadi orang (manusia) yang benar, sebagaimana Allah firmankan dalam Al Hujurat : 15 "Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar."

Wallahu’alambishshowab

Belajar Memotivasi Diri



 
        
  Terkadang kita sebagai manusia, banyak kurang bersyukur. Sudah diberikan kesempurnaan hidup, tapi masih banyak mengeluhnya. Padahal, mengeluh itu tidak akan menyelesaikan masalah kita. Ada sebuah cerita yang menarik, adalah Nick Vujicic seorang lelaki yang tanpa tangan dan tanpa kaki, dengan mentalitas yang kuat, semangat yang tingi, dan kemauan yang keras, kini dia menjadi seorang motivator kaliber internasional. Dia hidup sendiri, tanpa tangan, dan tanpa kaki. Kita membayangkan, bagaimana caranya untuk bisa hidup? Dalam seminar Motivasinya dia mengatakan sesuatu yang membuat kita akan terharu dan kagum.
Nick Vujicic seketika menjatuhkan badannya sendiri, seperti posisi tengkurap. Lalu ia berkata, "Tahukah kalian, aku berlatih keras untuk bangun sendiri dari posisi jatuh seperti ini ratusan kali. Tapi, aku tak mau menyerah, dan tak mau membiarkan diriku gagal. Karena kalau aku gagal, maka aku tidak ada." Lalu dia mencoba bangkit berdiri, dengan menggunakan kepalanya sebagai tumpuannya. Lalu dia berkata lagi, "Saya tak punya tangan, saya tak punya kaki, tapi saya hanya ingin bersyukur pada Tuhan. Saya menikmati hidup saya sebagaimana orang-orang lain."
Dalam kisah yang lain sahabat Rasulullah SAW, yang sangat kaya dan dermawan, namanya Amr Ibn al-Jamuh. Beliau adalah seorang yang mempunyai kecacatan di kakinya. Diriwayatkan bahwa hanya sebelah kakinya yang sempurna dan bisa digunakan sepenuhnya. Amr berjanji, apabila memeluk agama Islam, beliau akan menyerahkan seluruh hartanya untuk agama (infak). Namun seperti yang dijanjikan Allah, harta yang dijadikan bekal ke jalannya, rezeki orang itu tidak akan berkurang. Maka Amr ibn al-Jamuh sentiasa berada dalam keadaan hartawan yang dermawan.
Sebagai seorang hamba Allah yang sholeh, beliau senatiasa berusaha memperbaharui iman dan meperbaiki dirinya. Oleh karena kesenangan dan kemewahan hidup kemungkinan bisa jadi melalaikan dirinya, meskipun beliau sering meginfakkan hartanya, Amr senatiasa bersikeras ingin melakukan yang lebih lagi, lalu beliau berazam untuk ikut serta dalam peperangan.
Dari perang Badar hingga perang Uhud, Amr tidak jemu-jemunya memohon dengan Rasulullah untuk ikut serta dalam pasukan tentera Islam, meskipun Rasulullah menegas-kan agar beliau tinggal saja, karena surah al-Fath yang telah mengecualikan orang-orang yang kurang sempurna dari turun berperang:
Tidaklah menjadi salah kepada orang buta, dan tidaklah menjadi salah kepada orang cacat, dan tidaklah menjadi salah kepada orang sakit tidak turut berperang, kerana masing-masing ada uzurnya. Dan, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka akan dimasukkanNya ke dalam Syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai: dan barang siapa yang berpaling dan ingkar, akan disiksa-Nya dengan azab yang tidak terperi sakitnya [48:17]
Namun Amr ibn al-Jamuh berkeras untuk turut serta. Katanya kepada Rasulullah “Ya Rasulullah, aku amat berharap sekiranya dengan kecacatan aku dapat merebut syurga Allah”. Atas desakan beliau akhirnya Rasulullah mengijinkan Amr ikut serta dalam peperangan. Beliau pun berjalan dalam barisan tentera dengan terjengkat-jengkat, sambil berdoa agar dikurniakan syahid.
Di medan perang, Amr ibn al-Jamuh begitu berani dengan sebelah kakinya beliau melompat-lompat dan menerjang ke arah musuh. Banyak musuh terbunuh dipancungnya. Dan akhirnya beliaupun telah terpilih untuk menjadi salah seorang dari para syuhada’ yang mana rohnya terbang bebas seperti burung dan berbau wangi bak kasturi.
Dari dua kisah yang tersebut di atas, kiranya bisa menjadikan cerminan dan pelajaran berharga bagi kita, bahwasanya seperti apapun Allah memberikan keleng-akapan terhadap makhluknya, tentunya apabila kita kelola dengan baik, kita berdayakan dengan maksimal, tentu akan mendapatkan hasil yang memuaskan pula. Lebih-lebih apabila diri kita diberikan karunia akal yang sehat, jiwa yang normal, organ tubuh yang lengkap dan berfungsi, maka akan lebih masuk akal pula bila bisa meraih prestasi yang lebih dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang kurang sempurna.


Memberdayakan Potensi Diri
Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya: ”Apakah pekerjaan yang paling afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan seo-rang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang mabrur. (Hadits riwayat al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim rahima-humallah). Dari hadist ini terdapat beberapa hal yang bisa kita petik himahnya bahwa
1.     Salah satu ajaran di dalam Islam yaitu motivasi dan anjuran untuk berusaha, bekerja dan mencari rizki yang baik. Dan juga bahwasanya Islam itu adalah aturan agama dan Negara, sebagaimana Islam memerintahkan ummatnya untuk menunai-kan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala (ibadah), maka Islam juga memerintahkan untuk mencari rizki dan untuk berusaha memakmurkan dan mengembangkan bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk:15)
2.     Bahwasanya pekerjaan/mata penca-harian terbaik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri (usaha sendiri). Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada satu makanpun yang lebih baik dari pada apa yang dimakan oleh seseorang dari hasil kerjanya sendiri”
3.     Bahwasanya amalan apapun yang dilakukan oleh setiap muslim yang diniatkan untuk menjaga kehormatan dirinya (tidak meminta-minta), dan untuk mencukupkan dirinya dari (bergantung kepada) apa-apa yang ada di tangan manusia, maka itu termasuk pekerjaan yang baik. Dan setiap manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan apa yang menjadi pekerjaan dan profesinya.
4.     Tidak adanya pengkhususan dari Syari’ (Allah) dan penentuan jenis pekerjaan tertentu, adalah dalil bahwa maksud hal itu adalah terwujudnya Iradah Kauniyah/ kehendak kauniyah yaitu memakmurkan alam dunia ini, yaitu dengan bekerjanya masing-masing orang atau kelompok dengan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh orang atau kelompok lain.
Yang menjadi masalah laten dari sebagian umat muslim adalah menjadikan qonaah dan syukur (nerimo) sebagai tameng kemalasannya untuk berjuang, dan memaksimalkan potensi diri dalam bekerja atau beramal. Apabila sifat demikian dipelihara maka lambat laun akan mematikan potensi sebagaimana yang telah Allah karuniakan. Beberapa hal kiranya yang harus dihindari untuk memaksimalkan potensi diri dan memotivasinya adalah :

Berpuas Diri
Islam memang telah mensyariatkan agar kita selalu bersyukur dan qonaah, sebagaimana hadist qudsi Allah berfirman: “Barang siapa sudi menerima bagian yang telah Aku berikan untuknya (Qonaah & bersyukur) maka, Rezekinya Aku beri "keberkahan” dan harta benda duniawi pun memaksa diri untuk mendatanginya walaupun ia tidak menginginkannya."
Dalam hadist yang lain bahwa Rosulullah bersabda “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim).
Yang  menjadi permasalahan adalah, kita seringkali kesulitan memaknai antara bersyukur qonaah dengan kewajiban kita agar terus berkarya. Qonaah dan syukur tidak berarti mudah meyerah. Bila bila kita salah dalam memaknai, bisa-bisa kita secara tidak sengaja terjerembab ke sifat terlalu nerimo, dan malas, bahkan berpuas diri. Lebih parah lagi bila kita terlalu dini mem-vonis bahwa usaha kita telah mak-simal, sehingga tinggalah bertawakal yang jadi senjata pamungkas. Sementara dalam hal apapun baik urusan duniawi maupun akherat Rosulullah telah memberikan motivasi dalam sabdanya :
"Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka", lalu bagai-mana kita kita mau menggapainya……. ?
Sebagian pakar psikologi mengatakan bahwa rasa puas diri sesungguhnya memperlihatkan sifat sombong dan angkuh. Orang yang mudah berpuas diri dengan kemampuan dan prestasi yang diraihnya cenderung egois dan tidak terbuka terhadap masukan maupun kritik orang lain. Orang dengan tipe ini juga cenderung berbuat hanya bertujuan mendapatkan sesuatu untuk kemenangan diri sendiri ketimbang berkarya kemudian bermanfaat bagi orang lain. Karena itu, orang yang mudah berpuas diri umumnya menggunakan cara-cara yang kurang etis dalam bermuamalah.
Prof. Hamka menerangkan tentang Sifat Qona’ah bahwasannya sifat Qona’ah itu mengandung lima hal diantaranya, pertama, menerima apa yang ada dengan penuh rela. Kedua, memohon kepada Allah agar diberi tambahan yang pantas, dibarengi dengan usaha. Ketiga, menerima ketentuan Allah dengan sabar. Keempat bertawakkal kepada Allah. Dan terakhir tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Berhenti Belajar
Seluruh indra telah Allah sempurnakan melekat di jasad kita. Kita bisa mengamati dunia dengannya. Akal dan hati selalu menyertainya. Belajar merupakan proses sepanjang hidup. Orang yang tidak ingin belajar sesungguhnya mengalami kematian. Padahal dunia saat ini, dalam berbagai bidang apapun, selalu dituntut dengan perkembangan yang cepat. Begitu kita tidak berminat untuk belajar, maka sesung-guhnya kita telah menutup dan membunuh potensi yang telah Allah karuniakan. Karena itu, hendaknya kita mau belajar, baik belajar dari pengalaman, belajar mendengarkan masukan orang lain, belajar mengamati dan menganalisa setiap tantangan dan hambatan yang dialami dalam memak-murkan bumi.
Rosulullah menegaskan bahwa menun-tut ilmu wajib bagi muslim dan muslimah, bahkan dalam hadist yang lain diterangkan bahwa menuntut ilmu itu harus dilakukan mulai lahir hingga masuk liang lahat, artinya sampai kapapun tanpa mengenal usia, tanpa mengenal ruang dan waktu.


Kuper alias Kurang Pergaulan
Rosulullah bersabda dalam hadistnya;
“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan shaum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelas-kan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipan-jangkan usianya dan dibanyakkan reze-kinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).
Ilmu Allah tersebar dimuka bumi dengan begitu luasnya. Sebagian kecil telah telah tersebar memenuhi kemampuan akal manu-sia di dunia, artinya masing-masing manu-sia memiliki pengetahuan yang bebeda-beda. Syariat Islam mengajarkan bahwa agar umatnya mau mempererat ukhuwah dan memperluas tali silaturahmi. Hal ini dapat diartikan bahwa melalui silaturahmi dan ukhuwah yang baik kita bisa saling bertukar pikiran, saling memberikan pengetahuan, bertukar pengalaman, dan pada akhirnya kita bisa bertambah ilmu pengetahuan sehingga kita bisa membuk-tikah bahwa silaturahmi memang benar-benar dapat memperbanyak rezki dan memperpanjang usia.


Wallohu’alam bishshowwab

Gaya Hidup


 
Dalam hidup ini, ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pan-dangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.
Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: gaya hidup Islami, dan gaya hidup jahili. Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak/pasti dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif/tidak jelas dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir. Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Beliau bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, shahih).
Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain.
Masyarakat telah kehilangan gaya hidup yang sesungguhnya karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu? Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memperton-tonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.
 Marilah kita takut pada ancaman akhirat dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:

Artinya: “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataannya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra, shahih).
Ada gelombang dahsyat yang telah menimpa ummat Islam sedunia, yaitu gelombang budaya jahiliyah yang merusak akhlaq dan aqidah manusia yang disebarkan lewat terutama lewat televisi VCD/ CD, radio, majalah, tabloid, koran,dan buku-buku yang merusak akhlak.
Di antara pengaruh negatif televisi adalah membangkitkan naluri kebinatangan secara dini, dan dampak dari itu semua adalah merosotnya akhlak dan kesalahan yang sangat mengerikan yang dirancang untuk menabrak norma-norma masyarakat.Dari pengkajian seorang peneliti bernama Charterz yang berharga dalam masalah ini di antaranya ia berkata: “Sesungguhnya pembangkitan syahwat dan penayangan gambar-gambar porno, dan visualisasi (penampakan gambar) trik-trik porno, di mana sang bintang film menanamkan rasa senang dan membang-kitkan syahwat bagi para penonton dengan cara yang sangat vulgar bagi kalangan anak-anak dan remaja itu amat sangat berbahaya.”
Peneliti ini telah mengadakan statistik kumpulan film-film yang ditayangkan untuk anak-anak sedunia, ia mendapatkan bahwa:
·  29,6% film anak-anak bertemakan seks
·  27,4% film anak-anak tentang menanggulangi kejahatan
·  15% film anak-anak berkisar sekitar percintaan dalam arti syahwat buka-bukaan.
Terdapat pula film-film yang menampilkan kekerasan yang menganjurkan untuk balas dendam, memaksa, dan brutal. Hal itu dikuatkan oleh sarjana-sarjana psikologi bahwa berlebihan dalam menonton program-program televisi dan film mengakibatkan kegoncangan jiwa dan cenderung kepada sifat dendam dan merasa puas dengan nilai-nilai yang menyimpang.

Jangkauan lebih luas
Apa yang dikemukakan oleh peneliti beberapa tahun lalu itu ternyata tidak menjadi peringatan bagi para perusak akhlaq dan aqidah. Justru mereka tetap menggencarkan program-programnya dengan lebih dahsyat lagi dan lebih meluas lagi jangkauannya, melalui produksi VCD dan CD yang ditonton oleh masyarakat, dari anak-anak sampai kakek-nenek, di rumah masing-masing. Gambar-gambar yang merusak agama itu bisa disewa di pinggir-pinggir jalan atau dibeli di kaki lima dengan harga murah. Video dan komputer/CD telah menjadi sarana penyaluran budaya kaum jahili untuk merusak akhlaq dan aqidah ummat Islam. Belum lagi situs-situs porno di internet.
Budaya jahiliyah itu jelas akan menjerumuskan manusia ke neraka. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan kita agar menjaga diri dan keluarga dari api Neraka. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahriim: 6).

Sirkulasi perusakan akhlaq dan aqidah
Dengan ramainya lalulintas tayangan yang merusak aqidah dan akhlaq lewat berbagai jalur itu penduduk dunia -dalam pembicaraan ini ummat Islam-- dikeroyok oleh syetan-syetan perusak akhlaq dan aqidah dengan aneka bentuk. Dalam bentuk gambar-gambar budaya jahiliyah, di antaranya disodorkan lewat internet,televisi, film-film di VCD, CD, gambar-gambar cetak berupa foto, buku, majalah, tabloid dsb. Bacaan dan cerita pun demikian.
Dari sisi lain, praktek tiruan dari pribadi-pribadi pendukung kemaksiatan itupun diprogramkan pula untuk dipompakan kepada masyarakat dengan aneka cara, ada yang dengan paksa, misalnya mengatur seragam karyawan, anak sekolah atau para wanita penjaga toko dengan pakaian ala jahiliyah. Sehingga, ummat Islam didesak dengan aneka budaya yang merusak aqidah dan akhlaq, dari yang sifatnya tontonan sampai praktek paksaan.
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam  memperingatkan agar ummat Islam tidak mematuhi suruhan siapapun yang bertentangan dengan aturan Allah swt. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam Bersabda:
 “Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam maksiat pada Allah Tabaraka wa Ta’ala.” ( Hadits Riwayat Ahmad, dalam Musnadnya nomor 20191).

Sikap Ummat Islam
Masyarakat Muslim pun beraneka ragam dalam menghadapi kepungan gelombang dahsyat itu. Golongan pertama, prihatin dengan bersuara lantang di masjid-masjid, di majlis-majlis ta’lim dan pengajian, di tempat-tempat pendidikan, dan di rumah masing-masing. Mereka melarang anak-anaknya menonton televisi karena hampir tidak diperoleh manfaat darinya, bahkan lebih besar madharatnya. Mereka merasakan kesulitan dalam mendidikkan anak-anaknya.
Umat Islam adalah golongan pertama yang ingin mempertahankan aqidah dan akhlaq anak-anaknya itu, di bumi zaman sekarang ini ibarat orang yang sedang dalam keadaan menghindar dari serangan musuh. Harus mencari tempat perlindungan yang sekira-nya aman dari aneka “peluru” yang ditembakkan.
Golongan kedua, ummat Islam yang biasa-biasa saja sikapnya. Diam-diam masyarakat Muslim yang awam itu justru menikmati aneka tayangan yang sebenarnya merusak akhlaq dan aqidah mereka dengan senang hati. Mereka beranggapan, apa-apa yang ditayangkan itu sudah lewat sensor, sudah ada yang bertanggung jawab, berarti boleh-boleh saja. Sehingga mereka tidak merasa risih apalagi bersalah. Hingga mereka justru mempersiap-kan aneka makanan kecil untuk dinikmati sambil menonton tayangan-tayangan yang merusak namun dianggap nikmat itu. Sehingga mereka pun terbentuk jiwanya menjadi penggemar tayangan-tayangan itu, dan ingin mempraktekkannya dalam kehidupan. Tanpa disadari mereka secara bersama-sama dengan yang lain telah jauh dari agamanya.
Golongan ketiga, masyarakat yang juga mengaku Islam, tapi lebih buruk dari sikap orang awam tersebut di atas. Mereka berangan-angan, betapa nikmatnya kalau anak-anaknya menjadi pelaku-pelaku yang ditayangkan itu. Entah itu hanya jadi penjoget di belakang penyanyi (namanya penjoget latar), atau berperan apa saja, yang penting bisa tampil. Syukur-syukur bisa jadi bintang top yang mendapat bayaran besar. Mereka tidak lagi memikir tentang akhlaq, apalagi aqidah. Yang penting adalah hidup senang, banyak duit, dan serba mewah, kalau bisa agar terkenal. Untuk mencapai ke “derajat” itu, mereka berani mengorbankan segalanya termasuk apa yang dimiliki anaknya. Na’udzubillaah. Ini sudah bukan rahasia lagi bagi orang yang tahu tentang itu. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.
Itu kenyataan. Buktinya, kini masyarakat jauh lebih meng-unggulkan pelawak daripada ulama’. Lebih menyanjung penyanyi dan penjoget daripada ustadz ataupun kiyai. Lebih menghargai bintang film daripada guru ngaji. Dan lebih meniru penjoget daripada imam masjid dan khatib. Ungkapan ini secara wajar tampak hiperbol/dibesar-besarkan, terlalu didramatisir secara akal, tetapi justru secara kenyataan adalah nyata.


     Wallahu’alam bishshowwab

SMS GRATIS BOS.!

Group