Jumat, 31 Desember 2010

Berbagi Buah Iman (II tamat)

Edisi IX, Syawal 1431 H, Minggu I Oktober 2010 M
 
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalu menggunakan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca Al-Qur’an dan bacaan-bacaan yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah dia mengucapkan kata-kata yang baik atau lebih baik diam..….."  (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali yang artinya “Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan.” (H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas - sebagian mengatakan sanad dha’if).
Untuk membekali diri kiranya perlu kita mengetahui  hal-hal yang di anggap VERBODEN (dilarang) bagi lidah kita antara lain
1.     Alkalaamu fimaa laa ya’nihi (Ungkapan yang tidak berguna). Nabi Saw. telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. (Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad).
2.     Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan). Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.
3.     Al khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat). Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu? “Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. “Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati “. Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah saw. mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.
4.      Al Miraa’ wal jadaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadat tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, hormat-menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.
5.      Al Khushumah à Istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan) ingin mendapatkan haknya.
“Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong.” (al hadits)
6.     Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau). Becanda yang benar sajalah yang dibenarkan dalam Islam. Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. bersabda: “Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka juga bersenda gurau dan saya tidak akan mengatakan kecuali yang benar-benar.”
7.     Bidza’atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan (nyelekit), kata-kata jorok dan caci maki.
8.     Al La’nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apa lagi manusia)
9.     Attaqo’ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian).
10.  Insyaa’ussirri (Membocorkan rahasia)
11.  Alkadzabu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
12.  Assukhriyah wal istihza’ (Menyebutkan hal yang bikin malu - kejelekan diceritakan untuk ditertawakan)
13.  An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
14.   Al khotho’ fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga memberatkan orang yang menjawab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : ” Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka “. (H.R.Bukhari dan Muslim).
Hal-hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengakibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadits di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauh mana memberikan kemanfaatan.
Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga dari pada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 163 Allah swt. berfirman: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Sesekali perlu disayangkan dan ini menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam berdakwah, bahwa sebagian umat justru ada yang bersembunyi dibalik nash-nash yang mengandung sebuah perintah seperti salah satunya mengenai “berbicara baik atau diam”. Sehingga sampai-sampai ada orang yang menharapkan keselamatan dan kenyamanan pribadi dengan tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, karena bila dilakukannya sangat mengandung berbagai resiko yang merugikan dirinya.  Akhirnya banyak yang muslim menjadi yang pasif, bersikap apa adanya saja, nrimo, adem - ayem, dan santai tak ubahnya bagai seorang penonton saja yang melihat sebuah sandiwara. Kelompok ini mungkin menduduki porsi terbesar di kalangan masyarakat umum.
Sebagian lagi ada yang bersikap sebaliknya, dengan menekankan agar orang lain bisa bersikap “berkata baik atau diam” dalam arti mengharap agar seseorang tidak menyampaikan sesuatu atau ucapan yang bersifat nasehat (amar ma’ruf-nahi munkar), karena dalam dirinya terdapat sesuatu yang mengharuskan dia menerima nasehat – anjuran berbuat ma’ruf atau larangan untuk tidak melakukan kemungkaran. Dan apabila hal itu dilakukan oleh seseorang kemudian menyinggung pribadinya, maka akan muncul rasa sakit hati sebagai bentuk sebuah pertahanan diri karena ego atau kesombongan. Menurut Syekh Abdul Hamid al-Bilali, beberapa hal yang menjadikan seseorang enggan menerima nasehat adalah karena ;
  1. Hawa nafsu yang dominan dalam jiwanya menghalangi dirinya untuk menerima nasehat, meskipun kebenaran nasehat tersebut tampak jelas olehnya
  2. Usia yang masih relatif muda kadangkala menjadi faktor ditolaknya nasihat dari orang yang lebih tua dari padanya.
  3. Kesombongan yang terdapat dalam dirinya, karena merasa lebih hebat dalam hal kekayaan dunia.
  4. Kedudukan kadangkala juga bisa menyebabkan dirinya tidak mau menerima nasihat.
  5. Pengetahuan terhadap agama kadangkala menjadi faktor bagi sebagian orang untuk menolak nasihat dari orang yang lebih sedikit ilmunya dibanding dirinya.
  6. Tidak memahami hakikat bahaya yang hendak dihilangkan oleh pemberi dari diri orang yang diberi nasehat.
  7. Pengalaman yang masih sedikit dan usia yang masih muda membuatnya tidak mampu menilai kebenaran tersebut.
  8. Sentimen pribadi terhadap pemberi nasihat.
  9. Tidak ada keteladanan pada diri si pemberi nasihat.

Semoga bermanfaat, dan Wallohu’alam bishshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan Komentar untuk diskusi bersama

SMS GRATIS BOS.!

Group