Selain itu pula, di dalam lapangan mere-ka mengenakan berbagai atribut kebanggaan, ada kain semacam slayer, topi, bendera, terompet, dan tak lupa kaos tentunya. Semua seolah-olah menjadi sebuah kewajiban yang harus mereka adakan dan kenakan. Bahkan ada lagi yang dengan suka rela bahkan bangga tubuhnya dilumuri cat kebesaran team……sungguh luar biasa pengorbanan mereka. Perwujudan cinta memang tiada batasnya, sabagaimana dikatakan Ibnu Qayyim Al Jausiyah: “Cinta (itu) tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9).
Sekelumit cerita seputar sepak bola itu ternyata bisa menjadi sebuah cermin bagi diri kita sebagai manusia yang juga punya rasa cinta. Bagaimana tidak, kepada istri dan anak kita tentu kita punya rasa yang tidak terukur kadarnya, terhadap harta benda kita, juga ada rasa cinta yang tinggi. Sawah, ladang juga kendaraan kita sangat mencintainya. Untuk itu semua demi mewujudkan rasa cinta tersebut, kita berjuang keras banting tulang peras keringat, putar otak, tenaga, dan tentu lagi-lagi harus keluar biaya. Hampir tidak mungkin terjadi di dalam diri seorang manusia yang mencintai sesuatu tetapi tidak ada wujud pengorbanan untuknya. Fitroh yang telah Allah tetapkan bagi makhluknya yang memiliki akal dan hati/khalbu. Allah berfirman dalam surat An Nisa’:14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).
Dari uraian diatas lalu muncul perta-nyaan, pernahkah atau sudahkah kita berkorban untuk Islam, sebagai sebuah keyakinan hakiki, yang kita imani yang menjamin keselamatan kita hidup di dunia dan hidup di akherat…? Pernahkan kita berkorban dengan memberi apa yang kita suka. Memberi apa yang kita sayang. Memberi apa yang kita miliki. Memberi sesuatu yang kita simpan dan jaga, demi kepentingan Islam sebagai agama kita. Baiklah, mungkin dengan bahasa sederhana saja. Pernahkah kita mengeluarkan uang kita dalam jumlah yang relatif tidak sedikit untuk kepentingan agama kita? Ketika shalat jumat misalnya. Ada sebuah kotak yang telah terpampang di depan kita, apa yang akan kita lakukan. Berapakah uang yang akan kita masukkan ke dalam kotak itu? Seratus ribukah? Lima puluh ribu, dua puluh ribu atau malah hanya seribu?
Ada banyak hal yang terlewat. Hidup kita yang masih muda sering kali merasa tidak perlu berkorban untuk agama kita. Malahan, kita lebih sering berkorban untuk hal hal di luar agama. Misalnya berkorban untuk persahabatan, untuk geng, untuk teman, untuk pacar dan bahkan untuk sesuatu yang sangat konyol sekalipun. Semuanya terasa sangat ringan. Tetapi menjadi begitu berat bila pengorbanan itu untuk Islam.
Kita masih ingat betapa hebatnya Nabi kita Ibrahim yang mau berkurban untuk Allah dengan menyembelih anaknya sendiri. Sebagai seorang ayah yang sangat merindukan anaknya, dia rela menyerahkan anaknya kepada Allah. Sungguh ini merupakan pengorbanan yang besar. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. ……..” (QS an-Nahl: 120)
Nabi Ibrahim a.s telah menunjukkan sebuah teladan yang luar biasa kepada kita semua. Semangat pengorbanan beliau sama besarnya dengan semangat kecintaan beliau kepada Islam. Inilah yang hari ini belum kita miliki. Kecintaan dan semangat pengorbanan kita masih sangat mungil.
Tentu saja pengorbanan ini bukanlah tanpa latihan. Ibrahim A.S sudah diuji oleh Allah dengan berbagai ujian ketakwaan. Dan Ibrahim dengan sukses telah melalui ujian-ujian itu. Ingatkah bagaimana Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya sendirian di padang pasir? Semuanya itu adalah ujian untuk mengukur seberapa besar kemauan kita berkorban untuk Islam.
Saatnya Latihan Berkorban
Dahulu ada seorang sahabat bernama Abdullah Ibnu Umar. Di usianya yang menginjak 13 tahun, sudah ingin ikut berjihad bersama Rasulullah saw. Beliau bersama sahabatnya yang bernama al-Barra’ ngotot ingin berperang bersama pasukan Rasulullah saw. dalam perang Badar. Namun oleh Rasulullah saw. ditolak karena masih kecil. Tahun berikutnya pada perang Uhud, beliau tetap ditolak. Hanya al-Barra’ yang boleh ikut. Barulah keinginannya yang tak tertahankan itu terpenuhi pada saat perang Ahzab, Rasulullah saw. Memasu-kkannya ke dalam pasukan kaum muslimin yang akan memerangi kaum musyrikin. Subhanallah!
Kita butuh latihan untuk menjadi seorang Abdullah bin Umar. Pertama yang perlu kita lakukan adalah berlatih untuk mengen-dalikan nafsu. Nafsu inilah yang selalu membuat kita egois. Berpikir kepentingan sendiri. Selama kita egois, maka kita akan susah untuk berkorban. Hawa nafsu hampir selalu sukses menggoda manusia yang lemah iman. Menyeret mereka ke dalam ruang maksiat karena tidak mendapatkan petunjuk dari Allah Swt. Benarlah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun…..” (QS al-Qashash [28]: 50)
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jaatsiyah [45]: 23)
Hawa nafsu, adalah sesuatuhal yang perlu dikelola dengan benar. Memang, kita harus menyadari juga bahwa hawa nafsu tidak bisa dimatikan. Hawa nafsu hanya bisa diredam atau dikendalikan. Tentu saja, diredam atau dikendalikan dengan ajaran Islam. Bukan yang lain. Karena hanya Allah Swt. yang tahu betul karakter manusia. Itu sebabnya, permintaan Allah Swt. kepada manusia agar manusia taat kepadaNya, justru untuk keselamatan manusia itu sendiri. Untuk bisa meredam nafsu, tentu saja diperlukan pengorbanan untuk meninggalkan hal-hal yang menurut hawa nafsu sangat enak dan nikmat jika dilakukan.
Kedua, Mencoba berkorban dari hal-hal yang kecil. Segala sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil. Cobalah untuk berkorban sedikit demi sedikit. Berkorban pemikiran, tenaga, waktu dan kesempatan untuk Islam. Kemudian meningkat dengan berkorban harta. Karena diri kita ini perlu untuk dididik. Terlibatlah dalam urusan kaum muslimin. Ringankanlah beban mereka.
Urusan yang mesti dilakukan dalam agama kita jauh lebih banyak dibandingkan dengan urusan apapun di dunia ini. Termasuk urusan negara sekalipun. Karena terbukti bahwa urusan internal agama Islam takkan bisa tersentuh atau terwarnai oleh kebijakan negara manapun, dan dan sebaliknya, urusan kenegaraan bisa jadi harus di intervensi oleh aturan agama. Kalau urusan perikahidupan sebuah Negara meliputi IPOLEKSOSBUDHANKAM, maka agama Islam-pun begitu. Islam memiliki urusan dengan Ideologi, Politik, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan, dan bahkan lebih dari itu.
Dapat dikatakan, tidak ada sisi kehidupan sedikitpun yang tidak ada aturan dalam Islam, sehingga disana banyak terdapat lowongan pekerjaan (kesempatan) bagi setiap umatnya untuk berkiprah. Sebagai tatanan dunia yang telah Allah tetapkan, bahwa Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, tentunya menyadarkan kita sebagai kaum yang mengimaninya untuk bisa menjadi pemain di dalamnya, sekecil apapun peran tiap umat sangat dibutuhkan. Bagai sebuah panggung sandiwara kita benar-benar diuji, apakah kita akan menjadi pemain, atau menjadi penonton saja, yang hanya bisa komentar dan mengikutinya sampai sandiwara berakhir (kita meninggal dunia), atau bahkah kita sesekali mencibirnya.
Allah telah menyediakan gaji yang tiada terukur dan berlipat bagi usaha-usaha tiap umatnya dalam kiprahnya memakmurkan dunia ini. Sebagaimana Allah tegaskan “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah: 111)
Tidakkah kita tertarik dengan promosi yang telah Allah umumkan bahwa “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. al Baqoroh:261) disam-bung dengan strata/pangkat yang telah Allah tetapkan yaitu “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang/berkiprah) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad (berkiprah) di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk (penonton) dengan pahala yang besar.” (An-Nisa 4:95)
Marilah kita ringan hati dan ringan tangan untuk melakukan sesuatu dimana kita akan sangat bermanfaat di bidang itu. Jangan sungkan, jangan ragu atau malu. Inilah saatnya, Islam menunggu kiprah besar dari kita semua. Jangan sampai kita termasuk mereka yang memiliki cinta palsu, sehingga dalam berperan untuk agamapun setengah-setengah atau berperan bila dia suka atau dapat imbalan, dan akan diam bila tidak menguntungkan, sebagaimana disindir Allah dalam surat : Al Hajj :11 "Dan di antara manusia ada yang beragama di tepi agamanya (di pinggir-pinggir saja), jika ia memperoleh kebahagiaan/kebaikan maka ia pun tetap dalam keberagamaannya, tetapi jika ia ditimpa suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Dan yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata".
Atas dasar iman yang ada dalam dada kita - dengan melatih diri berperan aktif dalam urusan agama (sebesar apapun), semoga bisa menghantarkan kita menjadi orang (manusia) yang benar, sebagaimana Allah firmankan dalam Al Hujurat : 15 "Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar."
Wallahu’alambishshowab