|
Yang menjadi permasalahan adalah dalam berinteraksi sosial kita dituntut untuk selalu menjaga hubungan sesama manusia agar tetap terjaga, dan harmonis, tidak saling menyakiti, baik akibat lisan maupun akibat perbuatan kita. Sebagaimana hadist Rosululloh SAW. telah bersabda: “Orang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadits di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik kepada secara perwakilan saja, karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati sesama manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjadinya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. Salah satu pepatah Arab menyatakan: Artinya: “Keselamatan seseorang terletak sejauhmana ia menjaga lisannya.”
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala bentuk perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS. al-Isra :36 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendenga-ran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Oleh sebab itu, dalam berbicara harus senantiasa penuh pertimbangan,. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda: Artinya: Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. dintanya tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk surga, lalu Nabi menjawab: ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Selanjutnya beliau ditanya tentang hal yang banyak mengakibatkan masuk neraka, beliau menjawab: lidah dan kemaluan. (HR. Turmudzi)
Bertamu
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R. Syaikhani dan Ibnu Majah)
Hadits di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghor-mati tetangga, dan berbicara yang baik atau diam.
Memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadits dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
Bertangga
Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang. Dalam hadits sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw. menggambarkan pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut:
Isma’il bin Abi Uways telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak waris”.
Perintah berbuat baik kepada tetangga juga disinyalir dalam berbagai ayat Alqur’an, antara lain firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Di antara akhlak yang terpenting kepada tetangga adalah: menyampai-kan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira, Menjenguknya tatkala sakit, Berta’ziyah ketika ada keluarganya yang meninggal, Menolongnya ketika memohon pertolongan, Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf, dan lain-lain.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati hak-hak tetangga dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, kehadiran Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam merupakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan manusia atas manusia. Dalam Piagam Madinah dinyatakan sebagai berikut:
“(40) Segala tetangga yang berdampingan rumah harus diperlakukan sebagai diri sendiri, tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. (41) Tidak seorangpun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya”.[2]
Berbicara Baik atau Diam
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Mengingat besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah saw. mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
Dari Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “diam itu suatu sikpa bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul bahwa hadits tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali:
Artinya:
“Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan.” (H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad dha’if).
Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadits di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan:
Artinya:
“Tiap-tiap kondisi ada perkataan yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga daripada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 163 Allah swt. berfirman: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Ayat tersebut memberikan motivasi untuk senantiasa berkata yang baik kepada orang lain, meskipun tidak mampu memberikan sesuatu yang bersifat materil kepada mereka. Ayat itu pula menuntun agar tidak menghardik orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada kita, sebab tidak memenuhi permintaan mereka tetapi dengan kata-kata yang baik, akan lebih menyenangkan hati mereka dari pada permintaannya dipenuhi tetap disertai dengan caci maki.
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah swt. dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata yang baik atau memilih diam jika tidak mampu mengucapkan yang baik.
Sifat seperti yang disebutkan Rasulullah tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, dapat dipahami secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang belum sempurna tingkat keimanannya, mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal tertentu.
Salah satu ciri seorang mukmin yang benar adalah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin yang lain ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Begitu besarnya arti persaudaraan, hingga Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Dalam berbagai riwayat lain, Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh orang yang saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan kepada Allah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya dari ‘Abdillah bin ‘Abd al-Rahman bin Ma’mar dari Abi al-Hubab Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “pada hari kiamat Allah swt. akan berfirman: ‘dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Dari keterangan ini kita tahu bahwa cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah cinta yang dibangun atas dasar keridhaan Allah swt. Orang yang membangun kecintaannya kepada sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama. Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini menyebabkan terjadinya keharmonisan hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim.)
Persaudaraan seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92 : Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semangat ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Alah, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
Sifat atau ciri yang lain adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “orang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Hadits di atas tampak sangat singkat tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan makna. Inti pesan dalam hadits tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia (hablum minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah (hamblum minallah).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadits di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadits di atas tidaklah bertolak belakang dengan hadits tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadits di atas lebih berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah, meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan.
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan Komentar untuk diskusi bersama